Menikmati Deburan Ombak Dengan Mama 2 : Kami Menjadi Liar

x
0

Setelah beberapa hari ternyata peju anakku tak membuahkan kehamilan. Aku bersyukur karena merasa belum siap, meski secara keuangan, almarhum suamiku meninggalkan harta yang banyak. Dengan gaya hidup keluargaku yang sederhana, tentu takkan cepat habis.

Hari - hari berlalu. Kegiatan sekskual dengan anakku pun terus berlanjut. Setelah kuyakin anakku bisa memuaskanku, aku mulai menceritakan hasrat terpendamku pada dirinya. Kujelaskan panjang lebar tentang kesukaanku akan kontrol dari seseorang. Seseorang yang bisa menguasaiku.

“Kamu masih menginginkan mama?” aku menarik nafas setelah menjelaskan.

“Tentu saja mah. Wayan akan coba memuaskan rasa lapar mama yang ingin dikontrol.”

“Apa kamu masih menyayangi mama meski mungkin mama minta kamu melakukan hal - hal aneh?”

“Seperti apa mah?”

“Seperti mengikat mama, memukul dan bahkan meniduri mama hingga pingsan. Memperlakukan mama layaknya seorang pelacur.”

“Mama yakin dengan apa yang mama katakan?”

“Mama yakin sayang.”

“Mah.” Anakku tertawa… Lantas tawanya berhenti, ekspresinya mendadak serius. “Coba bawa apa yang mama punya ke sini, kejutkan Wayan!”

Aku bergegas ke kamar. Kulepas semua pakaian hingga telanjang seperti bayi yang baru lahir. Kuambil kalung anjing dan talinya lantas kembali ke ruang tv. Kulihat anakku sedang duduk di sofa, juga telanjang. Aku lantas berlutut di depannya dan kupersembahkan kalung anjing dan talinya. Anakku terlihat terkejut.

Tangan kuletakan di belakang punggung. Aku gemetar, gugup. Anakku melihatku dengan tatapan nafsu dan juga cinta.

“Mah, saat mama turun tangga, mama bener - bener seksi. Mulai kini, kalau di rumah mama gak perlu berpakaian. Adapun saat keluar, mama tak perlu pake cd maupun bh.

“Terserang kamu sayang,” kataku dengan gembira.

Anakku melihat kalung lantas menatapku, “apa mama yakin dengan semua ini? Sekali Wayan pasang, tak ada kata kembali.”

“Mama yakin. Mama ingin kamu memiliki mama seutuhnya,” kataku gemetar.

Aku bahkan merasa mataku mulai basah. Inilah saat dimana hubunganku dengan anakku berubah, jadi lebih baik. Setelah anakku memasangkan kalung anjing di leherku, aku orgasme. Aku mengerang, tubuhku gemetar tak terkendali. Memekku serasa basah oleh cairan kenikmatan.

“Gila, ternyata mama memang liar. Baru dipasang kalung aja bisa membuat mama keluar. Mama benar - benar binal,” seringai anakku.

Aku tertunduk malu. Suara anakku yang merendahkan serta seringainya bahkan membuatku makin tak tahan. Jauh di lubuk hatiku aku yakin hidupku kini hanya untuk melayani anakku.

“Jangan nunduk, lihat Wayan!”

Anakku menarik tali kalung, lantas kutatap anakku.

“Leher jenjang mama bener - bener cocok dipasangi kalung ini. Mulai kini, mama adalah milik wayan seorang.

“Ntar Wayan ganti kalungnya dengan yang lebih lebar, biar gak perlu dibuka saat leher mama dibersihin. Ntar Wayan cari yang gak mencolok kalau mama keluar tak perlu dibuka. Kalau perlu Wayan ukir juga nama mama di kalungnya. Gimana mah?”

Mendengar isi dari kata - kata anakku membuat memekku makin basah. Aku semangat sekali.

“Selain itu, Wayan ukir juga nama Wayan sebagai pemiliknya yang sah. Wayan sih pingin pakein tali kalung jadi kalau kita jalan - jalan keluar orang - orang akan tahu siapa mama dan milik siapa.”

Ide anakku tentu akan membuat siapa pun yang membaca ukiran di kalung mengetahui betapa aku hanyalah miliki seseorang, anakku. Andai keinginan anakku terwujud, menarik tali kalungku di hadapan umum, tentu aku akan makin senang. Bahkan belum selesai bicara pun, kalimat anakku bagaikan mantra. Mantra yang bisa membuatku orgasme meski tanpa penetrasi.

“Oh…” erangku

“Dasar cabul, baru dengar kata - kata aja udah keluar. Tatap mata Wayan!”

Aku menatap matanya setelah gelombang orgasmeku mereda.

“Mulai kini, sebut Wayan dengan kata ‘Tuan.‘”



Memekku makin basah, perubahan anakku, dari anak lugu menjadi seperti ini kuakui merupakan salahku. Andai malam itu aku tak melakukan apa pun… tapi, apa yang terjadi terjadilah. Yang kutahu anakku menyayang mamanya. Hatiku bahagia, kutatap anakku yang menurutku tampan ini, meski tak setampan tailor.

“Iya tuan, mama milik tuan seorang,” kataku bangga.

“Mama juga peliharaan Wayan sekarang, iya kan?” tanyanya sambil menarik tali kalung hingga merentang.

“Ya tuan, mama peliharaan anda. Tuan bisa dan dapat melakukan apa pun pada mama,” aku menjawabnya dengan penuh sukacita.

“Melakukan apapun?” tanyanya. Alisnya mengerut namun suaranya seperti menggodaku.

“Iya. Tuan bisa mengikat, memukuli hingga berdarah. Melacurkan bahkan bisa menjual mama kalau tuan mau.”

Lututku gemetaran. Aku menunduk. Suaraku pelan meski kuyakin anakku bisa mendengar semua kata - kataku. Bukan berarti aku ingin dilacurkan dan atau dijual, namun kukatakan apa yang selayaknya dikatakan oleh seorang hamba.

“Pahami ini, mama milikku seorang. Selamanya. Yah, mungkin nanti mama akan kujual kalau udah tua dan jelek. Hehehe, bercanda mah. Bagi Wayan, mama sangat cantik. Apa mama bener - bener ingin Wayan lacurkan?”

Aku menggelengkan kepala pertanda tidak.

“Sayang, mama gak ingi berhubungan dengan pria lain. Mama hanya ingin kamu, anak mama, tuanku.”

Memanggil anakku dengan kata tuan rasanya seperti sangat alami bagiku. Bahkan menimbulkan sesasi lain di perutku.

“Wayan tahu. Tapi Wayan juga tahu kalau mama memliki nafsu yang sangat besar. Namun Wayan sangat menyayangi mama. Wayan akan berusaha menyenangkan dan membahagiakan mama, dengan cara yang mama suka, hingga akhir hidup Wayan.”

Aku bahagia mendengar uraian anakku. Air mata bahagia pun tampak di mataku.

“Mama juga sayang padamu nak. Mama harap rasa sayangmu tak menghentikanmu memperlakukan mama serendah - rendahnya. Iya kan?”

Suaraku terdengar khawatir, namun Wayan malah tertawa.

“Wayan yakin mama memang benar - benar binal. Wayan akan sangat menikmati saat - saat merendahkan mama. Gimana?”

Aku memohon, “Iya nak, rendahkan mamamu!”

“Sabar mah, hari masih panjang. Apapun yang Wayan lakukan nanti, yakinlah kalau Wayan tak akan membuat mama cacat. Gini aja mah, apa mama suka kalau pantat mama Wayan merahkan tiap hari? Wayan pukul tiap hari?”

“Oh… iya pukul mama tiap hari. Mama mohon tuan,” aku memohon tanpa malu.

“Sabar mah. Wayan janji akan wayan merahkan pantat mama biar meriah. Biar mama gak bisa duduk. Tapi sekarang Wayan ingin menikmati susu mama dulu”

Aku gemetar gembira mendengar janji anakku. Kucondongkan tubuh hingga dadaku mendekat ke anakku. Aku mengerang nikmat saat tangan anakku memegang susuku. Awalnya hanya membelai, lantas meremasnya. Awalnya remasannya lembut, namun perlahan tapi pasti, remasan itu makin menguat. Aku meringis sakit, namun ternyata tubuhku gemetar akibat orgasme lagi.

Wayan melepas satu tangan. Kini kedua tangan wayan meremas satu susuku dengan keras. Rasanya darahku berhenti mengalir akibat kerasnya kepalan tangan anakku, namun tak menghentikanku dari orgasme yang datang lagi.

“Terus tuan, mama mohon!”

Aku merasa belum puas. Aku ingin anakku lebih keras lagi meremas. Aku juga ingin anakku meremas susuku yang lain.

“Udah cukup. Kapan - kapan Wayan pake tali aja biar lebih erat. Mungkin Wayan gantung juga mama dengan tali terikat ke payudara. Kalau kurang sakit, Wayan tusukan jarum sekalian.

“Tapi kini, kita mainkan dulu pentil mama. Wayan ada ide.”

Wayan memilin putingku dengan keras. Aku mengerang sakit sekaligus nikmat. Saat anakku makin memilin hingga sangat tipis, aku berteriak orgasme.

Wayan melepas pelintirannya, namun kembali memelintir. Kini dia memelintir sambil menariknya. Dilakukannya itu berulang hingga putingku tertarik makin jauh. Sakitnya makin tak tertahankan hingga Wayan melepas pelintirannya. Pentilku jadi terlihat panjang. Mataku berair, aku terisak akibat rasa sakit sekaligus nikmat.

Kasih sayang yang ditunjukan anakku tadi, kini berubah jadi sadis. Namun aku menyukainya.

“Layaknya leher mama yang jenjang, sangat cocok untuk kalung anjing; pentil mama pun cocok untuk dipasangi cincin. Kombinasi kalung anjing di leher serta cincin di pentil pasti indah,” kata anakku sambil memainkan pentilku dengan telunjuknya, seolah ingin menyingkirkan rasa sakitku.

“Tuan mau melubangi pentil mama?” tanyaku takjub.

Darimana dia dapat ide itu? Bukannya takut, aku malah penasaran ingin segera merasakannya.

“Gak hanya itu, sekalian juga bibir memek mama,” katanya lantas memeriksa memekku dengan tangannya. “Basah banget nih memek.”

Aku malu. Saat anakku mulai menyibakan bibir luar memek, pahaku kembali gemetaran.

“Mama bener - bener binal, kayaknya bisa bikin ngelumasi oli mesin nih.”

Tangannya yang basah oleh cairan memekku ditarik lantas dihirupnya. Setelah puas menghirup, tangannya dijilati dan dihisap hingga bersih.

“Nikmat,” pujinya.

Antara malu dan bangga, aku hanya bisa diam saat dua jemari anakku kembali ke memekku, mencabutnya, lantas dijilati lagi. Terus begitu hingga tiga kali. Setelah itu, jemarinya yang basah oleh cairan memek didekatkan ke bibirku.


“Coba nih mah, biar tahu rasanya!”

Kujilati dan kuhisap hingga bersih. Aku ternyata menyukainya, meski rasanya unik.

“Makasih tuan,” kataku setelah jemarinya bersih.

Melihat anakku menikmati cairanku, serta mencobanya sendiri membuatku terangsang. Elusan dan korekan jemarinya di memekku membuat memekku tak berhenti membasahi dirinya sendiri.

Menyadari memekku yang tak kering - kering membuat anakku menempelkan kepalanya ke selangkanganku. Bibirnya seolah dilem ke memekku. Jilatan dan hisapannya pun mulai. Saat kulihat kerongkongannya bergerak berkali - kali, kusadari mungkin sudah banyak lendirku yang diisepnya. Namun semakin banyak cairanku yang dihisapnya, semakin banyak juga tubuhku memproduksinya.

“Nih biar gak ngucur membasahi lantai.”

Aku merasa malu saat kusadari ada genangan di lantai bawah memekku.

“Mah, mama bener - bener pabrik lendir memek. Kayaknya Wayan mesti minum ini tiap sarapan dan atau makan. Kok bisa banyak kayak gini sih? Kelainan kali ya.”

Aku pun mengira begitu, mungkin aku memang memiliki kelainan hingga selalu mengucurkan banyak cairan memek. Entahlah, aku tak pernah memeriksakannya ke dokter.

“Sampai mana tadi kita? Oh, ya. Soal bibir memek ya.”

Anakku kini mencengkram bibir memekku dengan jemarinya. Ia tarik dan regangkan seperti menguji kelenturannya. Lantas ia juga lakukan hal yang sama terhadap bibir dalam memekku. Memang memekku sudah bergelambir, tak seperti dulu. Maklumlah, stw.

“Bibir luar memek mama tebel bener. Cocok kalau ditindik lantas dipasangi tiga cincin. Biar bisa ditarik hingga terbuka. Tapi bibir dalemnya kecil, mungkin pake cincin kecil aja, biar aman.”

Anakku menarik jembut memekku dengan keras membuatku teriak kesakitan.

“Ini mesti dibabat nih, biar lebih seksi.”

Seharusnya aku malu, marah dan atau terhina, namun kata - kata anakku malah membuatku semangat oke lagi.

“Iya sayangku, tuanku, mama seneng dipasangi cincin di pentil dan memek. Biar lebih terlihat layaknya budak tuan.”

“Seneng bener. Tinggal satu nih yang belum, itil mama.”

Akhrinya sampai juga ke bagian ini. Sejak anakku memasangkan kalung di leherku, itilku memang membesar perlahan - lahan. Anakku tak kesulitan mencarinya, lantas dimainkan oleh jempol dan telunjuknya.

“Kita bikin ini jadi makin besar.”

Anakku lantas meremas dan mencubitnya terus - menerus. Namun saat anakku menariknya keras - keras, aku berteriak kesakitan. Airmataku bercucuran akibat sakit yang sangat. Tubuhku gemetaran. Namun aku orgasme. Pinggangku bergerak liar. Saat akhirnya itilku dilepas, kulihat itilku melambai memanjang.

Sepertinya aku pingsan sebentar. Saat tersadar, anakku sedang mengelus itil dengan jarinya, seperti yang telah ia lakukan pada pentilku.

“Mama udah sadar? Mama gak apa - apa?”

Aku mengangguk pelan meski pinggangku rasanya panas seperti terbakar. Kulihat selangkanganku untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku takjub melihat daging kecil kemerahan yang mencuat dari bibir memekku. Aku tau itilku memang besar, namun aku ragu apakah bisa sebesar ini. Rasanya terus berdenyut - denyut.

Anakku yang masih lima belas tahun sanggup melakukan ini padaku. Itilku dijadikannya terlihat menjijikan. Anakku tersenyum menatapku, seolah bangga telah membuat itilku berubah. Itilku lantas dipilin oleh anakku dan dikocok layaknya kontol mini. Ajaib, itilku makin membesar dan memberikan kenikmatan yang tiada tara hingga membuatku kembali orgasme.

Cairan memekku yang mengalir deras terus membasahi celana yang terjepit di memekku.

Jumlah berlebihan jus cum feminin yang membanjiri terowongan vagina saya terus menerus dan mulai meresap melalui celana katun jenuh. Aku terbakar dan seks saya pikiran gila rasanya seperti saya sendiri yang sangat seksual dirangsang klitoris, penis feminin saya benar-benar bertanggung jawab untuk penyemprotan semua jus cum.

Setelah aku menenangkan diri dari orgasme, anakku melepaskan tangannya lantas menunjuk itilku.

“Wayan akan coba buat itil mama terus segede ini.”

Aku terkejut mendengarnya. Idenya begitu liar, entah masuk akal atau tidak.

“Kamu bercanda Yan!”

Aku masih kebingungan hingga lupa akan perintahnya untuk tak menyebut lagi namanya. Saat kulihat matanya, dia terlihat serius membuatku kembali sadar akan posisiku.

“Tapi, gimana caranya tuan?” Aku tergagap.

“Gini aja, kita panjangkan dan keraskan dulu hingga besar. Setelah itu, kita tindik di pangkalnya terus dipasangi cincin kecil. Jadi itil mama akan terus terekspos, karena tertahan oleh cincin itu. Setelah itu, bagian tengah juga ditindik, lantas dipasangi cincin kecil. Pun bagian tiga per empatnya.

“Namun yang utama, kita panjangkan dulu itilnya. Setelah panjang, di ujungnya kita pasang cincin berlian kecil.

“Gimana perasaan mama denger bagian paling berharga di tubuh mama bakalan ditindik, dipasangi cincin oleh anak mama sendiri! Mama akan jalan dengan itil membesar selamanya. Bahkan bakal terlihat selamanya.”

Aku terkejut. Bingung apa yang harus aku katakan. Kalau soal ditindik dan dipasangi cincin sih masih wajar. Namun melakukan hal itu ke itilku? Kayaknya seperti dimutilasi. Anak manisku kok bisa dapet ide nyeleneh gitu dari mana ya?

Aku mencoba membayangkan apa yang dikatakan oleh anakku. Efeknya, tubuhku gemetar, aku orgasme lagi. Anakku sepertinya puas akan reaksiku.

“Mah, tahu gak gunanya cincin di itil mama? Yang ditengah buat dipasangi tali, jadi kalau jalan tinggal ditarik. Yang di tiga per empat untuk dipasangi lonceng kecil, biar bunyi. Bahkan mungkin dipasangi bel juga di pentil mama, biar rame.

“Moga saja suara bel gak menarik perhatian saat kita jalan diluar. Intinya adalah, agar lebih meyakinkan kalau mama memang milik Wayan. Gimana, mama suka gak?”

Kata - katanya terdengar aneh. Namun pikiran liarku malah tertarik dan tak sabar lagi. Anakku adalah pemilikku. Artinya memekku miliknya juga. Dan lagi aku telah mengatakan padanya bahwa dia boleh melakukan apa saja pada tubuhku. Aku menerima takdirku, keinginan anakku. Mungkin kata - katanya hanya sekedar imajinasinya yang takkan terjadi.

Sepertinya celana yang terjepit oleh memekku sudah sedemikian basah hingga membuat tetesan air memekku menetes lagi ke lantai.

“Mama suka apa yang akan terjadi pada tubuh mama, anakku, tuanku.”

Saat orgasmeku mereda, aku menatap anakku dengan mata berkaca - kaca. Namun anakku menatap memekku yang tetap meneteskan cairan.

“Dasar binal, bawa sini gelas.”

Aku bangkit lantas ke dapur. Dari dapur aku kembali dengan membawa gelas dan menyerahkannya ke anakku. Saat aku akan kembali berlutu, anakku menghentikanku. Dia menyuruhku untuk berdiri dan melebarkan kaki. Cd yang terjepit dia ambil, lantas gelas dipegangnya di bawah memek. Cairan memekku langsung masuk ke gelas hingga penuh.

“Berlutut, buka mulut lebar - lebar dan liat ke atas!”

Anakku memeras cd di atas mulutku. Sebagian masuk ke mulut namun sebagian lagi membasahi wajahku. Setelah kering, wajahku belepotan. Aku mengangkat tangan bermaksud menyekanya. Namun tangan anakku lebih dulu menampar susuku dengan keras.

“Jangan lakukan itu. Ingat, mama lonteku. Kalau mau ngapa - ngapain mesti seizin wayan. Mengerti?”

“Mengerti anakku, tuanku!”

“Tetep gitu, jangan gerak.”

Aku menurut. Anakku lantas berdiri dan masuturbasi dengan kontolnya tepat di depan mulutku. Tak perlu waktu lama baginya untuk memuntahkan pejunya ke dalam mulutku. Setelah selesai, dahi dan daguku pun tak luput dari pejunya. Yang di dagu bahkan mulai menetes. Ingin kuseka lantas kuminum. Namun aku tetap menunggu.

“Wajah mama terlihat binal. Kayaknya kita meski lakuin facial ini setiap hari. Biar kayak dimasker. Jangan banyak gerak biar mengering. Jangan dicuci sampai tidur. Mengerti?”

“Mengerti tuan. Mama bangga bermasker peju tuan.”

Campuran cairan sendiri dan peju anakku di wajah membuat sensasi tersendiri hingga tubuhku kembali gemetar akibat orgasme. Saat anakku melihat cairan mengucur dari memek ke pahaku, dia mengambil cd dan menejepitkannya lagi ke memekku.

“Tentu kita gak bisa menikah secara legal. Namun begitu, kita bisa adakan syukuran kecil - kecilan ngundang sedikit orang. Biar mereka liat mama telanjang dan pake kalung anjing di leher. Setelah mereka liat tubuh seksi mama, kita adain pesta seks.”

Sepertinya anakku melihat kerutan di wajahku, lantas dia bertanya.

“Mama kayak gak senang. Kenapa?”

“Soal syukuran sih mama seneng. Namun, lain daripada itu tidak.”

“Mama tak lagi ingin orang lain ngentot mama?” wajahnya menyiratkan ketidak percayaan. “Mama milik Wayan. Bahkan Wayan tak sabar menunjukan mama ke teman - teman dan melihat teman - teman ngentot mama.

“Sekarang coba bilang apa mama udah gak mau gitu?”

“Bukan itu sayang. Mama gak pake kb. Andai mama gak hamil oleh …”

Aku merasa sedih. Kutatap anakku dengan penuh cinta. Mataku membasah, seolah memohon untuk dipahami.

“Mama hanya ingin hamil oleh tuan.”

“Wayan juga mah. Wayan akan jadi ayah dari anak - anak mama. Takkan Wayan biarkan orang lain menghamili mama. Bahkan akan Wayan kurung mama sampai benar - benar hamil

“Tuan akan mengurung mama di rumah?”

Aku jadi gelisah mendengarnya. Anankku terlihat prihatin, meski namanya bukan Wayan Prihatin.

“Wayan gak bermaksud mengurung mama di rumah layaknya burung di dalam sangkar emas. Maksud Wayan, yang Wayan kurung itu memek mama. Bahkan bisa Wayan pasang gembok kecil di memek mama.”

Anakku kini mengelus pantatku, hingga jarinya mengenai anusku. Lantas dia mencoba merenggangkan anusku. Selama beberapa menit, anakku mencoba memasukan telunjuk ke anusku hingga bisa masuk walau secuil, secuil. Setelah itu, dilepas telunjuknya dan dimasukan ke memek. Di koreknya memekku hingga telunjuk itu basah.

Ia coba renggangkan lubang anusku hingga mentok, terus begitu berulang kali. Rangsangan seksual seperti ini baru kali ini kurasakan. Gelombang orgasme kemabli melanda membuaku menjerit tanpa malu. Setelah itu jemarinya dicabut dan diarahkan ke mulutku.

“Bersihin nih lonte!”

Jemarinya penuh cairan memek dan anusku. Bisa kuhirup aroma kotoran khas anus yang sungguh aneh tapi nyata, takkan terlupa. Aku tak mau menolak. Aku ingin melakukan apa pun yang diperintahkan oleh anakku, tak peduli seberapa menjijikan itu.

Tanpa ragu kujulurkan lidah dan mulai menjilati. Lantas kumasukan jemari itu ke mulutku dan kuhisap layaknya menghisap kontolnya. Meski kurasa cairan memek dan anusku telah hilang dari jemarinya, namun aku tak berani berhenti sebelum dihentikan anakku.

“Udah cukup lonte,” katanya sambil mengelus rambutku. “Kayaknya anus mama bisa ditindik juga dan dipasangi gembok sedemikian rupa. Biar gak bisa duduk lagi.

“Menarik ini. Memek dan anus mama bener - bener di bawah kendali wayan. Jadi gak ada yang bisa memasukan apa pun. Selain itu, mama tahu gak kegunaan lainnya?”

Aku hanya bisa tertegun mendengar uraiannya. Rasanya terlalu konyol untuk dipercaya. Dia tentu tak serius.

“Setelah terkunci, mama mesti izin dulu kalau mau kencing dan atau buang air besar. Gimana, suka gak?”

Astaga! Tentu aku ingin dikontrol oleh anakku. Sekali selangkanganku terkunci, bahkan kebutuhan dasarku pun mesti seizinnya. Pikiran izin untuk kencing terlalu membingungkan.

“Oh… mama keluar…” aku teriak saat kembali orgasme.

“Kayaknya mama bener - bener suka ide wayan yah.” Lantas dia berbisik di telingaku, “mama akan jadi budak seks Wayan selamanya.”

“Itulah yang mama mau, memenuhi semua keinginan tuan.” kataku gembira.

“Wayan cinta sama mama, budak seks wayan.”

Aku menangis terharu. Hatiku penuh cinta untuk anakku.

“Ssshh… udah jangan nangis lagi.”

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)