Menikmati Deburan Ombak Dengan Mama 3 : Mama Penurut

x
0

Dengan perasaan senang, aku masak untuk makan di siang hari ini. Lantas kami makan bersama sambil duduk di meja makan. Sambil makan, kami ngobrol tentang sekolah dan teman - temannya. Rasanya seperti tiada apa - apa. Anakku pun berpakaian kumplit, kecuali aku yang tanpa busana. Tali kekang yang mengikat leherku terikat di ujung lainnya ke kaki meja.

“Sekarang kita mulai aja, biar gak banyak waktu yang terbuang.”

Anakku menepuk kepalaku beberapa kali, lantas dia mengambil tali kekang dan menyentakkanya beberapa kali dengan gembira.

“Rasanya nikmat banget pegang nih tali. Trus narik - narik anjing binal ini ke mana pun. Gimana, suka gak dipanggil anjing binal?”

“Iya tuan, mama suka dipanggil anjing binal.”

“Anjing pinter,” katanya sambil menepuk lagi kepalaku. Seolah memuji.

“Sekarang, berlutut kayak anjing!” katanya sambil menyentakkan kekang.

Tanpa berpikir lagi aku menurut. Kepalaku kembali di elus.

“Pinter, meski binal, namun nih anjing pinter juga.”

Aku senang mendengar pujiannya.

“Jalan yuk.”

Wayan menarik kekangku. Aku merangkak mengikutinya yang ternyata ke halaman belakang rumahku.

“Tiap peliharaan mesti dilatih. Apalagi bagi anjing yang baru pertama kali dipelihara. Tiap hari bakal Wayan bawa ke belakang biar bisa beraktifitas. Ngerti kan?”

Aku terperangah. Kayaknya dia tak serius, namun setelah kupikir, aku lantas tahu dia sangat serius. Kurasa peran yang dia ingin aku mainkan, dari yang awalnya serasa penuh canda kini berubah jadi serius dan liar.

“Sayang, kamu tak bener - bener ingin mama… untuk …” aku terlalu malu untuk menyelesaikan kata - kataku. Aku masih berharap dia bercanda.

“Tentu saja. Wayan ingin mama kencing dan eek di luar, layaknya anjing binal. Bahkan Wayan harap mama bisa melakukannya di jalan dan atau di taman. Mungkin bisa kalau tengah malam. Ntar Wayan biarkan mama lari di taman, menuju pepohonan kayak anjing - anjing lain. Meski saat tengah malam, Wayan tahu mama pasti akan menyukainya.

“Bay de wey baswey, mulai sekarang mama dilarang makan di meja lagi. Ntar Wayan siapin dua mangkuk, buat makanan dan minumnya.

“Mungkin juga ntar Wayan piara dua atau tiga anjing besar. Buat nemenin mama. Cuma mereka gakkan dikekang talinya. Hanya mama yang tali kekangnya diiket ke kaki meja. Suka kan”

Aku tak henti - hentinya dibuat terkejut oleh kata - kata anakku. Idenya terlalu mengerikan untukku. Kuakui aku suka dipasangi kalung dan kekang, namun hanya sebagai simbol bahwa aku adalah budak. Selama ini kupikir anakku juga berpikiran sepertiku, hanyalah sebagai fantasi pemenuhan hasrat.

Aku sedih. Aku marah. Anakku ingin aku bertindak layaknya binatang. Aku, seorang ibu yang hampir berusia empat puluh, jadi budak seks peliharaan anakku sendiri, merangkak dan bertindak layaknya anjing. Nafasku memburu mengingat apa yang akan kualami selanjutnya, penghinaan saat buang hajat layaknya anjing, di depan anakku, di tempat umum.

“Ingat gak mah, dulu Wayan ingin pelihara kucing, namun dilarang sama papa. Kini setelah tiada, Wayan udah gak mau kucing. Wayang kini punya piaraan baru, anjing binal. Ntar Wayan pamerin ke temen - temen. Biar pada tau siapa pemilik dari anjing binal ini. Kalau perlu, wayan cari komunitas yang kayak gini, ntar deh wayan cari di warnet.

Saat anakku menyentakan kekang, aku merangkak dengan pikiran kacau. Namun yang pasti, kini aku tak ragu anakku akan merubahku, mamanya sendiri, menjadi binatang peliharaanya yang akan dipamerkan di hadapan orang lain. Aku merasa dikhianati, semua emosi yang kurasakan kini membuatku depresi. Apakah dia akan tetap mencintaiku setelah merendahkanku sedemikian rupa?

Beberapa saat lalu aku bahagia oleh kata - kata anakku. Namun kemudian, aku kecewa dan marah oleh kata - katanya juga.

Saat anakku merasakan keenggananku merangkak, kukira dia akan marah. Namun ternyata, dia malah mendekatiku lantas kembali menarik kekang dengan lembut. Jemarinya meraih daguku dan mengangkatnya hingga kami bertatapan.

Melihat wajah sedihku yang berair mata, anakku lantas memeluk sambil mengelus rambutku dengan penuh kasih.

“Jangan sedih mah. Wayan hanya ingin membuat mama bahagia. Tadinya kukira ini akan membuat mama bahagia. Bahwa inilah yang mama inginkan. Mama gak mau jadi anjing peliharaan Wayan lagi? Katakan saja! Gak apa - apa kok.”

Aku bingung. Anakku sepertinya sangat peduli padaku. Namun mendengar idenya, sungguh sangat kejam.

“Apa kamu masih mencitai mama, sayangku, tuanku?” tanyaku ragu.

“Tentu mah. Wayan sangat mencintai mama!” jawabnya dengan tegas.

Anakku menciumku dengan gairah. Lidah bertemu lidah, liur bercampur liur. Setelah ciuman kami lepas, kutatap matanya. Kini dapat kulihat rasa cinta yang begitu besar dari matanya untukku, mamanya.

“Mah, Wayan mencintai mama. Meski dengan cara yang aneh. Wayan mesti jelaskan karena Wayan gak ingin mama setengah - setengah dalam menjalani apa yang akan terjadi. Karena terlalu senang, Wayan jadi lupa diri dan melakukan semua ini dengan cepat, terlalu cepat bagai tiada lagi hari lain.

“Saat mama bilang ingin kurendahkan, bukankah telah Wayan peringati sebelumnya. Bukankah mama berjanji akan menuruti Wayan? Kenapa tidak mama nikmati apa yang akan Wayan lakukan demi mama?”

“Terus, soal kencing dan… gimana tuan? Kedengerannya sangat menjijikan.” kataku dengan jijik.

“Apakah mama gak ingin kencing dan eek untuk anak mama sendiri?” katanya dengan lembut menggodaku.

“Sayang, apa kamu masih menghormati mama setelah mama… mama kencing dan eek di depan tuan?” kataku sambil menatap anakku dengan penuh kasih.

Buang hajat menurutku merupakan hal yang paling pribadi. Selalu dilakukan di ruang tertutup. Namun kini anakku ingin aku melakukannya di hadapannya.

“Mah, Wayan akan selalu menghormati mama. Mamalah yang melahirkan dan membesarkan Wayan dengan penuh kasih sayang. Aku menghormati mama saat membersihkan jemariku setelah yang penuh kotoran dari memek dan anus mama.

“Wayan menghormati mama saat mama dipasangi kalung dan kekang lantas merangkak layaknya anjing binal.

“Wayan bahkan akan tetap menghormati mama saat mengencingi wajah mama nanti dan saat mama meminum air kencing Wayan.” katanya dengan penuh percaya diri.

Saat Wayan menyadari keterkejutanku, dia malah tertawa. Dia tahu sekarang aku mulai menerima nasibku jadi hewan peliharaan anakku sendiri.

“Mama mesti belajar menyukai air kencingku. Juga akan belajar minum air kencing mama sendiri. Ngerti anjing binalku?”

Wayan berhenti sejenak untuk tersenyum nakal.

“Dan sekarang waktunya perubahan. Mama tahu Wayan mencintai mama dengan sepenuh hati, gak perlu meragukan itu. Serahkanlah tubuh dan jiwa mama ke Wayan seutuhnya. Wayan janji takkan membiarkan siapa pun melukai mama hingga cedera.

“Wayan punya banyak rencana untuk mama. Wayan akan senang merendahkan mama di depan Wayan dan atau di depan teman - teman Wayan.

“Karena Wayan tahu mama adalah anjing binal Wayan.”

Tiba - tiba semua kebencian, amarah, ketakutanku pun sirna. Sirna itu sempurna. Hatiku senang turun rasa was - wasku. Anakku masih dan akan tetap mencintaik, menghormatiku. Kini aku takkan ragu lagi untuk buang hajat di hadapan anakku.

Bukankah ini yang kuinginkan. Direndahkan dan diperlakukan seperti pelacur murahan. Saat anakku ingin aku makan dan minum dari mangkuk anjing, aku akan melakukannya.

“Sayang, apa mama akan dikasih makanan anjing?”

Anakku tertawa seolah aku mengatakan sebuah lelucon.

“Meski mama jadi anjing binal Wayan, Wayan gakkan ngasih makanan anjing tiap hari. Lagian, mama mesti masak makanan bergizi agar mama tetep sehat.”

Tiba - tiba anakku tersenyum nakal.

“Kecuali kalau mama ingin makanan anjing, bisa Wayan berikan. Mungkin Wayan biarkan mama makan makanan anjing untuk menghibur teman - teman Wayan. Tapi yang pasti, makanan manusia atau pun makanan anjing, tetep mesti makan di mangkuk anjing. Gimana, suka kan anjing binalku?”

“Tuan, mama seneng dipanggil anjing binal. Mama juga senang kalau harus makan dari mangkuk anjing.

“Mama juga seneng bakal dilatih layaknya anjing peliharaan,” kataku sambil menggoyangkan pantatku ke kiri ke kanan.

Aku akhirnya menerima kenyataan jadi anjing peliharaan anakku.

“Tuan, mama siap dilatih,” kataku memohon.

“Wayan tahu mama pasti akan suka jadi peliharaan Wayan. Wayan yakin mama akan makin pintar nanti,” kata Wayan bersemangat sambil menepuk - nepuk kepalaku. “Kini ikuti Wayan.

Tali kekangku ditarik dan aku merangkak mengikuti dengan semangat. Saat di teras halaman belakang, dia berhenti lantas berbalik hingga di belakangku. Cd yang terjepit memekku ditariknya menyebabkan cairan mengalir melalui pahaku hingga ke lantai.

“Buka lebar lutut, kepala di lantai dan angkat pantatnya anjing!

“Lebih lebar lagi!” kata anakku sambil menyentak tali kekang.

Setelah memposisikan diri sesuai kata - katanya, anakku memujiku.

“Anjing pinter. Anjing pinter.

“Tiap kali ke sini, di taman atau di depan temanku, kalau mau buang air, mesti kayak gini dulu. Dan saat mau kencing, kebelakangkan tangan dan buka memek lebar - lebar. Namun saat bibir memeknya telah dipasangi cincin, cukup tarik cincinnya saja. Naikkan satu kaki lantas kencing.

“Lantas kalau mau eek, kayak gini juga tapi tanpa mengangkat satu kaki. Buka lebarkan pantat dengan tangan.

“Kalau mengerti, goyangkan pantatmu beberapa kali layaknya anjing.”

Setelah kugoyangkan pantat beberapa kali, kurasakan pecutan di pantatku.

“Bagus. Pantat mama kini lebih bagus lagi. Andai punya pecut bisa jadi hiasan garis - garis. Oh ya, kurang ekor. Pantesan kayak ada yang kurang. Kalau anus gak dikunci, ntar mesti dipasangi ekor. Suka kan anjingku sayang?”

“Iya anakku sayangku tuanku, mama peliharaan tuan. Pasti bagus kalau punya ekor, biar bisa digoyang - goyang.”

Sebuah ekor yang dipasang ke anusku serta bisa bergetar terdengar sangat liar.

“Bagus, bagus. Sekarang waktunya kencing untuk tuanmu!”

Kulebarkan memekku hingga kuyakin anakku bisa melihatnya. Kuangkat kaki kananku seperti perintahnya. Air kencing pun keluar membasahi lantai di bawahnya. Tak lupa kugoyangkan pantat. Kulakukan semua seperti tak punya urat malu.

Di sisi lain, aku bangga melakukan hal yang paling pribadi di hadapan anakku untuk kesenangannya sendiri. Aku merasa seperti binatang, anjing peliharaan anakku sendiri. Yang kurasa kurang hanyalah ekor yang terpasang di anusku.

Akhirnya kutapaki juga langkah kecil ini, langkah yang akan membawaku ke dunia liar alam pikiran anakku. Tiada kata kembali, bila telah kencing layaknya anjing di depan mata anakku sendiri. Untuk kami dan untuk masa bahagia bersama.

Aliran deras kencingku berganti menjadi tetes - tetes kecil yang kadang jatuh kadang mengucur di paha kiri. Setelah itu kurasakan cairan memekku mengalir lagi mencampuri air kencing yang telah lebih dulu tergenang di lantai.

Campuran kedua cairan yang keluar dari lubang yang sama itu sungguh beraroma khas, yang tentu memenuhi rongga dadaku dan anakku. Kini aku diam menunggu perintah selanjutnya.

“Bagus. Kini Wayan tahu anjing jalang ini suka kencing untuk tuanmu,” kata Wayan sambil tertawa.

“Sayang rasanya cairan memek itu terbuang percuma. Oh ya, sekarang waktunya eek untuk tuanmu!”

Kini kulebarkan pantatku hingga anusku terlihat. Aku mulai mendengus berusaha mendorong agar kotoranku keluar. Sulit, karena posisiku bukan posisi alami untuk eek, kecuali anjing betulan. Selain itu sulit juga karena ini pertama kalinya aku eek dilihat orang lain, yang tak lain adalah anakku sendiri.

Saat anusku mulai membuka, kurasakan mata anakku bagai laser yang tertuju ke pantatku. Saat memekku mulai berdenyut tak terkendali, aku yakin akan merasakan sensasi baru yang belum pernah kurasakan.

Kotoranku mulai keluar dari anus, pikiranku dipenuhi kenikmatan liar. Pikiranku dipenuhi khayal seolah telah bertahun lamanya aku tak eek, dan akhirnya diizinkan juga oleh anakku. Aku mengejang bahagia.

“Bagus anjing. Tak dapat dipercaya, bagus sekali. Memang mestinya jijik, tapi karena keluar dari pantat mama, anjing peliharaanku, rasanya jadi sangat indah. Dorong terus anjingku!”

Aku mengejang. Sepertinya kotoranku tergantung sepanjang 8 sentimeter. Akhirnya kotoranku jatuh menimpa genangan air kencing di lantai, diantara kedua kaki yang kulebarkan. Tubuhku bergetar, kejang akibat orgasme yang kurasakan. Saat sisa - sisa air kencingku keluar, muncul lagi kotoran lain dari anusku.

Anakku bersorak gembira. Aku mengejang lagi berusaha mengeluarkan kotoran tersebut. Namun yang keluar tak sekeras yang pertama. Hingga akhirnya kurasakan sudah tak ada lagi.

“Bagus anjing binalku, bagus. Liat tetesan eek yang menempel di kulit anjing, bener - bener seksi.

“Liat tuh genangan di lantai. Banyak bener.!”

Aku malu melihat gundukan kotoranku. Aku berharap lantai itu membuka dan mengubur semuanya.

“Ntar - ntar mesti direkam nih. Siapa tahu anjing binalku bisa jadi bintang.”

Bukannya malu dan atau terhina dengan ide direkam, aku malah senang. Kudengar suara sleting. Tanganku masih di pantat, melebarkannya. Lantas kurasakan helm kontol anakku menyentuh anusku. Aku menjerit terus hingga akhirnya batang kontol anakku tertanam seluruhnya di anusku. Dia tarik kontolnya lantas menghujamkan kembali.

Anakku melangkah hingga ada di depanku. Kontolnya dipenuhi bercak - bercak kuning kotoranku. Baunya sungguh tak enak, memualkan dan seperti mau muntah. Mungkin karena pertama kali kucium baunya. Aku tahu apa yang diinginkannya. Maka sebelum diperintahkan, kubuka mulutku.

“Anjing pinter,” kata anakku sambil menepuk kepalaku.

Kontolnya lantas dimasukan ke mulutku. Aku hampir tersedak oleh kotoranku sendiri. Saat kontol itu ditarik pelan - pelan, kututup mulutku seolah menguncinya. Anakku mulai memompa kontolnya perlahan. Kuimbangi dengan jilatan agar kontol anakku bersih.

Setelah beberapa sodokan, aku mulai terbiasa dengan rasa dan aroma kotoranku sendiri. Setelah kurasa bersih, aku mulai berusaha memberikan sepongan ternikmat untuk anakku. Namun anakku malah menghentikan sodokan dan melepaskan kontol dari mulutku. Aku kecewa karena aku ingin menelan pejunya.

“Pinter nih anjing. Sekarang buka mulut dan julurkan lidah. Wayan kasih hadiah.”

Aku senang mendengarnya. Kulakukan perintahnya.

“Jangan ditelan anjing, biarkan tetap di lidah,” anakku memerintah sambil menepuk kepalaku. “Sekarang kocok kontol tuanmu hingga keluar.”

Kukocok kontol anakku dengan kedua tangan. Saat kubelai kontolnya dengan bibirku, anakku keluar dan pejunya mulai masuk ke mulutku hingga penuh. Terakhri tetesan peju yang masih menempel dia gesek ke mulutku.

Anakku memuji mulutku yang penuh peju hingga aku merasa pegal. Akhirnya anakku menyuruhku menelan pejunya perlahan - lahan, sambil dimainkan oleh lidahku. Nikmatnya peju anakku ini. Pengalaman ini membuatku pun keluar.

“Pinter. Pinter nih anjing,” anakku memuji sambil menepuk kepalaku saat aku membuka mulut untuk menunjukan semua pejunya telah tertelan.

“Jangan ditutup dulu mulutnya, masih ada hadiah lain untuh anjing yang pinter.”

Anakku memposisikan kontol hanya beberapa senti meter di depan mulutku. Aku senang mengetahui akan diberi air kencing oleh anakku. Saat air kencingnya masuk ke tenggorokanku, aku bahagia. Mulutku penuh. Aku berusaha menelan sebanyak mungkin. Teguk demi teguk. Asin tapi enak. Saking banyaknya hingga luber dari mulutku.

Setelah habis, wajahku kini bau kencing anakku. Aku keluar lagi saat sedang dikencingi. Aku tahu aku akan ketagihan air kencing anakku.

“Bagus sekali, meski baru pertama kali. Anjing pinter,” pujinya sambil menepuk kepalaku. “Namun lain kali, kalau ada tetes yang tumpah, anjingku bakal dihukum.”

Anakku membersihkan lantai dengan air dari selang. Setelah selesai, kuharap aku akan disemprot juga. Ternyata tidak. Tentu saja aku merasa sangat kotor. Kuharap anakku mengizinkanku mandi. Anakku menatapku, mungkin menyadari apa yang kurasakan. Lantas ia tersenyum mengejek.

“Wajah anjing tetep kayak gitu hingga saat tidur. Anjing asli gak bersihin pantat sehabis eek, tapi karena ini belum seratus persen anjing, biar ada pengecualian.”

Anakku menarik kekang. Kuikuti dengan merangkak dari lantai hingga ke halaman belakang.

“Sekarang berlutut, dudukan pantat ke tumit, lantas bersihkan pantat dengan digosok ke tumit.

“Bagus. Wayan demen liat goyangan susunya. Mulai kini, kalau Wayang bilang anjing bertumit, mesti kayak gini. Mengerti anjing?”

“Iya tuan,” jawabku dengan senang hati karena menerima trik baru agar aku lebih sempurna lagi jadi binatang peliharaannya.

“Mulai esok anjing akan belajar banyak hal baru. Jadi mesti cepat hafal. Kalau tidak, akan dihukum. Sekarang bersihkan pantat dengan digesek di rumput.”

Dengan perasaan malu aku dudukan pantat di rumput. Kulebarkan pantat hingga anusku mengenai rumput lantai kugesekan untuk menghilangkan kotoran. Rumput pun membuat anus dan belahan pantatku sakit. Sepertinya lecet.

“Anjing pinter.” pujinya lagi sambil menepuk kepalaku.

“Kayaknya gak sampai bersih, iya kan anjing?” anakku mengejek.

Aku hanya bisa mengangguk.

“Jangan pernah membersihkan pantat dengan tangan. Pakai cara yang lebih baik.

“Jangan kira yang tadi hanya soal kencing dan eek. Seterusnya bakal ada pelatihan kencing dan eek hingga otot memek dan anus kuat. Biar memeknya bisa memuncratkan cairan lebih jauh lagi. Setelah itu kita tampilkan di depan teman teman. Gak masalahkan?”

“Tentu tidak. Mama akan senang menghibur teman - teman tuan.”

“Bagus anjing. Bagus,” pujinya sambil menepuk kepalaku. “Mulai sekarang, mulut anjing akan jadi toilet. Namun, saat Wayan habis eek, lidah anjing mesti membersihkan. Keberatan gak?”

“Tidak tuan.”

“Bagus. Kini balik ke soal yang tadi. Wayan tahu mama suka banget senam hingga badan mama lentur. Tinggal latih hingga selentur mungkin hingga leher bisa ada di antara kaki. Ngerti maksudnya?”

Aku mengerti maksud anakku. Apa yang anakku ingin kulakukan merupakan penghinaan yang memalukan.

“Sepertinya susah dilakukan tuan.”

“Butuh waktu memang, tapi bisa dilakukan. Hingga itu bisa dilakukan, bersihkan pantat dengan rumput. Lantas harus bisa jilati anus sendiri agar bersih setelah eek. Mengerti anjing binalku?”

“Iya tuan, anjing binal akan melakukannya untuk tuan.” aku mengangguk.

“Bagus. Anjing pinter.” puji anakku sambil menepuk kepala. “Setelah itu, belajarlah minum kencing langsung dari memek.”

Tali kekangku ditarik. Aku mengihkuti hingga ke ruang tamu. Anakku duduk, dan aku disuruh berbaring di pangkuannya dengan menghadap lantai. Pantatku ditampar.

Aku, seorang wanita dewasa, direndahkan oleh anakku dengan cara ditampar pantatku. Namun tamparan demi tamparannya berbuah orgasmeku. Hingga akhirnya tamparannya berhenti. Tubuhku kejang akibat orgasme. Pantatku serasa panas.

“Udah cukup. Pantat anjing udah merah. Lagian tangan juga sakit.”

“Lagi tuan, tampar lagi anjing binal ini!”

“Dasar anjing maniak sakit. Ntar ganti aja pake yang lain, sakit kalau pake tangan.”

Anakku lantas mencium pantatku yang telah merah.

“Anget bener nih pantat. Lezat!”

Aku senang mendengar anakku menyukai pantatku yang baru saja ditamparnya. Cintaku padanya semakin besar saat dia kini mengelus dengan lembut pantatku itu.

***

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)