Memotivasi Anak Bagian 11 : Beramai-ramai

x
0


“Wo, sini Wo.”

Dewo sedang duduk di depan monitornya. Namun bukannya senang, Dewo malah merasa jenuh. Tak ada lagi yang dapat diperbuatnya selain bengong, gak ada kerjaan. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Beri aku uang… Beri aku uang…” Pikirnya saat suara mamanya memanggil. “Daripada terbunuh sepi…” Pikirnya sambil melangkah.

Dewo mencari sumber suara itu. Ternyata mama sedang sama ayah di meja. “Apa mah?”

“Lagi sibuk gak?”

“Emang kenapa mah? Gak sibuk sih.” Kata Dewo sambil duduk di kursi.

“Kamu bosan gak?” mama mengedipkan sebelah mata pada ayah.

“Iya.”

“Mau main gim gak?”

Dewo menatap ayahnya. Heran karena dia tertawa.

“Widia lagi pergi, mama juga bosan sama kayak ayah. Kamu mau ikut maen kartu gak? Yang kalah mesti buka pakaian?”

Dewo terkejut, “apa?” Dewo menatap ayah dan mama bolak - balik.

“Kamu kan udah besar,” ayah akhirnya angkat suara. “Ayah denger kamu dan temenmu suka bicarain mamamu dan mama temenmu. Nah, sekarang kamu punya kesempatan. Tapi, kalau gak mau ya gak apa - apa.”

“Pasti bercanda nih.” Dewo mulai senyum.

“Mama yakin kamu bakal telanjang duluan sebelum bisa liat mama,” kata Dewi sambil mengambil kartu. Lalu mulai mengocok.

“Jangan gitu. Meski ayah seneng liat anak kita dipermalukan, tapi ayah ingin liat mama telanjang lebih dulu.” Kata ayah sambil menepuk bahu Dewo.

“Silakan berharap. Ingat aja yang, mama bisa nelanjangin si Diana sama anaknya sebelum akhirnya mama telanjang.”

“Apa?” Dewo lemas hingga menggelosor ke lantai dari kursinya. Ayah tertawa melihatnya.

“Mama lagi ngobrolin kamu. Terus Diana malah nantangin main sama anaknya.”

“Bajingan itu malah gak kasih tahu Dewo.” Dewo memukul meja.

“Jangan marah sama dia. Dia gak salah, mamanya otak dari semua ini.”

“Kacau… Bener - bener kacau…”

Ayah kembali bicara, “Bukan kacau Wo, tapi menikmati hidup. Kayak ayah dan mamamu dulu, sebelum pada punya anak.”

“Gak usah terjebak masa lalu Yah. Pasti ntar Diana sama Dana juga kebagian lawan ayah.”

“Yakin?”

“Iya dong. Mama yakin kalian akan segera telanjang asal kamu bisa tutup mulut,” Dewi menatap Dewo. “Jadi cepat ambil kartu dan mainkan.”

Ketiganya lalu bemain hingga Dewo dan Jefri hanya tinggal bercd saja. Sedang Dewi hanya memakai cd dan bh.

Putaran berikutnya Dewi kalah. “Sial,” katanya sambil tangannya menjangkau punggung untuk melepas bh. Akhirnya susu Dewi terlihat oleh anaknya untuk kali pertama.

Dewo hanya bisa melongo melihatnya.

Dewi meraih pentil susu dan menariknya, “kamu ingat dulu gak?” katanya sambil menatap anaknya.

“Ayah gak inget terakhir anak kita gak bisa bicara gitu. Hehehe.”

Dewo geleng - geleng sambil meraih lalu mengocok kartu. Setelah pertarungan yang cukup sengit, Dewi kalah. Jefri tertawa senang. Dewi lalu berdiri, melepas cd, menggoyang - goyangkan pantatnya ke arah anaknya. Setelah itu kembali duduk.

“Ee… Sekarang apa?” bengong Dewo.

“Karena mulut mamamu gak ada gunanya lagi, gimana kalau mama kalah mesti nyepong dia yang menang. Setuju sayang?” jefri menatap Dewi.

Dewi menatap anaknya, “semoga aja Dewo menang,” lalu menatap suaminya, “karena kalau ayah menang, mama pake gigi mama.”

Dewo kembali terjatuh dari kursi akibat lemas. Ayah dan mama hanya tertawa.

Kartu kembali dibagikan. Namun yang menang adalah Jefri. Jefri lalu berdiri dan menatap anaknya, “perhatikan nak. Liat bagaimana ahlinya mamamu!” Jefri berharap soal gigi tadi hanyalah candaan.

Dewo melihat pantat mama bergoyang - goyang saat mulut mama sibuk di selangkangan ayah. Dewo mendekati mama biar bisa lebih jelas melihat.

Mama melepas kulumannya lalu menoleh ke anaknya, “pantat bergoyang artinya undangan. Kamu gak homo kan?”

“Tentu tidak.”

Jefri tersenyum pada anaknya, “lepas celanamu nak. Ayo lakukan.”

Dewo langsung melepas celana hingga telanjang lalu berlutut di belakang mama. Dewo memasukan kontol ke memek mamanya.

“Oh…” kata Dewi di sela sepongannya.

Dewo merasakan betapa nikmatnya memek mama hingga mulutnya mengerang dengan sendirinya. Pompaan kontol Dewo semakin lama semakin cepat. Tangan ayah memegang kepala mama saat ayah orgasme di mulut mama. Aku pun orgasme dibarengi mama yang bergetar. Rupanya mama ikut orgasme.

Dewo mencabut kontol lalu duduk dikursi sambil memperhatikan lepasnya kontol dari mulut mama. Mama lalu menatap ayah, “gimana, senikmat imajinasimu?”

“Iya sayang.”

Dewi duduk lalu menatap anaknya. “Setelah mama main sama Diana dan Dana, mama langsung pulang dan bergumul sama ayahmu. Abis itu mama ceritain semua. Terus ayahmu malah punya ide ini.”

Jefri menatap anaknya, “jadi, kira - kira setelah ini kamu bakal sering bosan gak?”

“Tidak komandan!” jawaban Dewo membuat ayah dan mama tertawa.

***

“Maksudmu, gadis yang dulu nganter makanan ke rumah kita trus ngelayanin kita di restoran?”

“Iya.”

“Gila, terus gimana caranya kamu mau nerangin kalau saat itu kamu sama mama?”

“Entahlah. Biar waktu yang menjawabnya.” Mata Dana menerawang sambil mengelus meja

“Gimana kalau mama kembali berpakaian aja dan kita kembali normal seperti dulu?” Perut Diana bereaksi melihat anaknya yang jelas sedang jatuh cinta.

“Tentu tidak.”

Diana tertawa, “Terserah kamu. Kita tunggu saja, jika hubungan ini makin serius, maka kamu mesti memikirkan cara untuk memberitahukannya. Gak boleh ada rahasia jika mau berhubungan, bisa ricuh.”

“Dana tahu. Ntar Dana pikirkan suatu cara.”

Diana bangkit lalu mendekati anaknya. Diana duduk di pangkuan anaknya lalu menciumnya. Beberapa saat kemudian Diana melepas ciuman lalu menatap anaknya. “Mama sangat cinta sama kamu. Tapi suatu saat jika kamu sudah menemukan belahan jiwamu, mama akan merelakanmu. Gak perlu kamu khawatirkan perasaan mama.

Tangan Dana mengelus bahu mama, sedangkan tangan lainnya memainkan jemari di susu mama. Mata Mama mulai terpejam. Erangan kecil mulai keluar dari mulut mama.

“Dana sangat bersyukur punya mama seperti mama.” Dana lalu mencium leher mama.

Diana menjerit saat Dana merangkulnya lalu mengangkatnya hingga ke atas meja. Dana lalu melebarkan kaki mama, “kamu mau lagi ya?” kata mama.

“Tentu.”

Kring… Kring…

“Biarkan saja mah.”

“Kalau dari sendi gimana?”

“Oh iya,” Dana bergegas meraih telepon.

“Halo, Cip,” mata Dana menatap betis mama. Meski betis mama tak bercahaya seperti ibu para raja zaman dahulu, namun sungguh terlihat seksi. “Gak, gw udah siapin semua. Tinggal lu aja sama Dewo. Telpon aja sama lu. Gw kira cewek. Ya cewek asli lah. Gak, gw gak bakalan cerita sekarang. Yo.”

Tubuh mama masih tergeletak di meja, menatap jalang pada anaknya. Dana menghampiri dengan antusias. Tangan Dana mulai mendekati kaki mama…

Kring… Kring…

“Sial… Sial…” Dana kembali meraih telepon.

“Halo. Oh, kamu Sen. Iya, aku juga seneng semalem ngobrol sama kamu. Apa? Iya sip. Jadi besok, jam tiga. Sampai jumpa.”

“Wah.. wah… Ada yang janjian nih?” tawa Diana menggoda anaknya saat anaknya mendekat.

Dana tersenyum, “hehe…”

Masih berbaring di meja, Diana melorotkan celana pendek anaknya, “berarti kamu milik mama malam ini.” Diana menjulurkan lidah perlahan untuk mengenai kontol anaknya.

Kring… Kring…

Diana melepas kontol dari tangan dan menjatuhkan kepalanya saat Dana memukul meja. “Hehehe…” Diana cengengesan.

“Apa lagi? Eh, halo bu Dewi. Tidak, sedang santai kok. Mau ngomong sama mama? Kata mama ibu lagi main kartu? Sudah? Siapa yang menang? Maksudnya, semua? Mantap. Tentu, ada rencana sih. Ya seperti itu. Ibu kan temen mama, rasanya obrolan ini agak janggal. Ibu yakin? Tentu Dana percaya. Siap bu. Iya.”

Dana kembali menghampiri mama. Tangan mama disilangkan di meja, dan dagu mama bersandar di tangan itu. “Katanya bu Dewi sekeluarga mau ke sini ntar malem.”

Diana langsung duduk, kakinya menjulur dari meja. “Mau ngajak keluar?”

“Enggak, katanya mau makan di sini.”

“Apa kamu yakin gak keberatan kita kedatangan tamu?”

“Gak, bu Dewi kedengeran semangat. Katanya bakal tak terlupakan bagi kita.”

“Bisa jadi malam yang sangat menarik. Kamu siap?”

“Mungkin saja, kita lihat nanti.”

***

Saat yang dinanti para pembaca pun tiba, pintu diketuk. Dana membuka pintu. Munculah bu Dewi dan suaminya, paman Jefri. Dana menyalami mereka. Diana lalu datang. Jefri memandang Diana yang memakai kaos penuh keringat.

“Ku akui, aku mesti berterimakasih atas bantuanmu,” senyum Jefri saat menyalami Diana.

“Pantesan kamu senyum terus…” balas Diana.

“Jadi, tumben - tumbenan nih maen ke sini…”

“Iya, gw inget lu tanya apa gw pingin balik lagi kayak dulu. Nah gw omongin dah ke laki gw. Kalau lu oke, setidaknya gw dan laki mau ngucapin makasih udah nyalain lagi api yang pernah pudar.”

Diana menatap anaknya, “Dana baru dalah hal ini. Jadi kalau lu setuju, kita pelan - pelan saja. Gw juga gak mau sampai main kecuali sama anak gw. Gw baru sadar, rasanya gw sengaja nunggu. Duh.”

Ketiga orang paruh baya tertawa, sementara Dana celingukan sendiri bingung.

“Dari dulu juga gw tau lu orangnya punya komitmen. Gimana anak lu, apa dia udah punya inceran buat masa depannya? Kalau anak gw sih, tadi sore gak kesulitan.” Dewi tertawa menatap Dana yang makin merah karena malu.

Jefri tertawa, “Jangan biarkan mereka melahapmu nak. Udah tugas wanita buat bikin kita senang - senang, setidaknya salah satu wanita ini udah melakukannya. Si Dewo mulai beruntung sama mamanya, Paman jadi khawatir.”

“Dewo sih gak pernah susah kalau soal cewek, tapi jangan bilang kalau saya kasih tahu,” kata Dana terlihat kikuk.

“Jadi, mau di mana nih?”

“Di dapur aja, sambil duduk. Kita ngobrol normal - normal dulu. Pelan - pelan untuk remaja kita.” Dewi sambil menggandeng bahu Dana.

“Mana makanannya, katanya lu mau bawa?” Diana meyiapkan piring ke meja.

“Udah gw pesen.” Tok.. Tok… “Nah, itu datang pesenannya.” Jefri menarik uang dari dompet sambil berjalan menuju pintu

“Tunggu, pesan dari mana paman?” Dana meraih tangan Jefri hingga

“Tempat rekomendasi Dewo, kenapa emang?” Jefri menatap Dana heran.

“Oh, pacarnya kerja di sana. Suka nganterin juga,” Diana menimpali sambil tersenyum.

Jefri menyerahkan uang ke Dana, “kalau gitu, kamu ambil saja.”

Saat pintu dibuka, Dana dan Sindi sama - sama tersenyum.

“Hay, aku ingat alamat ini, jadi sengaja aku antar.”

“Ya, setidaknya kali ini aku sengaja berpakaian kumplit.”

Sindi tertawa. Dana melirik ke samping melihat mamanya pun tertawa.

“Bener - bener gak ada privasi di sini ya?”

Diana mengangkat tangannya, “cuma ngecek, kali aja butuh bantuan bawain makanan.”

“Ya… ya… percaya deh…”

Sindi memandang ke dalam, “bilang padanya agar jaga tangannya di tempat yang terlihat,” tawa Sindi.

Diana lalu muncul di pintu, antara Dana dan Sindi. “Halo, kamu pasti Sindi ya.”

“Ya, kalau anda?”

“Diana, tenang saja cantik. Saya bukan sainganmu dalam remaja ini.”

“Udahlah Na, mending sana deh.”

Bukannya menghilang, Diana malah membuka pintu lalu meraih makanan dari Sindi. “Tante tau tante gak diharap ada di sini. Tapi jangan ngambek kalau nanti kamu kembali makanan udah gak bersisa.” Diana lalu masuk sambil tertawa.

Dana memperhatikan mama hingga berada di dapur, lalu kembali ke Sindi.

“Dia makan sebanyak itu, tapi masih kelihatan cantik?” tatap Sindi ke Dana.

“Oh, tentu tidak. Di dalam ada teman kami.”

“Kami? Aku tak sabar dengar ceritanya. Dia tampak menawan.”

“Ya, dia hanya senang saat tahu aku lagi dekat sama wanita. Tapi dia juga enak orangnya. Eh, ntar mau nonton apa?”

“Gak tahu, kita liat aja nanti apa yang sedang diputar. Terus kita putuskan bareng, biar sama - sama menikmati.”

“Bagus. Oh iya, nih uangnya. Mumpung ingat.” Dana mengeluarkan uang lalu memberinya ke Sindi.

“Makasih. Aku mesti kembali, biar tetap kerja. Hehehe…”

Tanpa berpikir, Dana mendekati Sindi lalu mencium pipinya. Setelah itu Dana melihat Sindi berbalik dan menjauh, langkah Sindi seperti langkah mama saat mama senang. Saat akan masuk, Dana melihat sesuatu di jendela.

“Tukang intip di mana - mana.” Teriak Dana, Dewi dan Diana hanya tertawa.

“Paman udah bilang ke mereka jangan ngintip,” kata Jefri dari dapur.

“Iya, makasih udah ngelarang mereka paman.”

“Jangan marah dong, lagian siapa yang tahan liat anak lucu…” kata Dewi sambil memeluk Dana.

“Makanan udah mulai dingin nih,” teriak Jefri sambil mengunyah.

Ketiganya lalu menuju dapur. Makanan sudah tersaji di meja. Ada satu botol kosong dan satu botol penuh.

“Lu minum sendirian?” tanya Diana ke Jefri yang sudah agak mabuk.

“Kan mau ngajarin anak ini. Pelan - pelan saja kan.”

Diana tertawa, “putar botol?”

Dewi tersenyum pada Diana, “pelan - pelan saja.” Lalu menatap Dana, “Gimana nak, tertarik?”

“Boleh bu, tapi jangan harap Dana mau menyetuh paman Jefri, najis tralala…”

“Tenang, ini versi pasangan. Makanya kami gak bawa Dewo.”

“Entahlah… Dana masih merasa gak enak sama Dewo.”

“Gak usah khawatir, sore tadi Dewo udah bahagia. Apalagi esok lusa. Siapa tahu kapan - kapan kita main gim ibu dan anak bareng.”

Dana menggeleng, “Kacau… bener - bener kacau…”

“Ngeluh? Kayak yang iya aja,” Diana tertawa.

Keempat insan itu makan, minum dan tertawa. Setelah makan selesai, meja dikosongkan hingga hanya terdapat satu botol. Dewi memutar dan botol itu berhenti tepat menunjuk Dana.

“Cium sang gadis,” teriak Dewi.

Diana tersenyum lalu mencium anaknya.

Jefri menyeringai, “setelah bertaun - tahun, lu gak lupa caranya kan?”

Setelah beberapa saat, Diana dan Dana kembali duduk di kursi masing - masing. Dana memutar botol. Botol menunjuk ke mama temannya.

“Gantian,” tawa Diana.

Jefri dan Dewi berciuman. Terkadang lidahnya menjulur keluar.

“Babak pertama usai. Selanjutnya yang kalah mesti lepas pakaian. Jika kembali kalah, maka lanjut ke tes jujur.” Cukup bicara, Dewi lantas memutar botol. Ironisnya botol itu mengenai dirinya sendiri.

“Sial, gw mesti pertama telanjang lagi .” Dewi lalu melepas kaosnya. Tangan Dewi meraih ke punggung lalu melepas bh. Setelah itu Dewi berdiri dan melepas celana jins, akhirnya Dewi melepas cdnya. Dana dengan antusias melihatnya.

Botol kembali diputar, berhenti menunjuk Diana. Diana berdiri lalu melepas bajunya. Kedua pria bertepuk tangan.

Jefri tertawa, “masih seperti dulu, liar dan cantik.”

Berikutnya Dana yang harus melepas pakaian.

“Sejauh ini masih aja pemalu?” jefri geleng - geleng melihat Dana yang terlihat malu. Para wanita hanya cekikikan.

Akhirnya giliran Jefri yang melepas pakaian. “Kali ini yang tertunjuk mesti ngocok atau ngelus pasangan dengan tangannya. Katanya kamu pintar Dan.” Dewi merujuk kepada Dana sambil memutar botol. Botol menunjuk Dana.

Diana berdiri dan jalan mendekati meja lain, “kita ulangi saja yang tadi.” Diana lalu duduk di meja dan melebarkan kaki, sementara Dana kini berdiri diantara kaki Diana.

Diana lalu membungkuk untuk mencium anaknya. Tangan anaknya mengelus susu Diana, serta punggungnya.

Dewi menggeser kursi hingga di sebelah suaminya. Tangan Dewi lalu mengelus kontol suami, sementara tangan Jefri memainkan pentil istrinya.

Perlahan tangan Dana menuruni tulang rusuk hingga berputar di perut mama. Sementara tangan satunya membelai pantat mama.

Dewi bisa mendengar erangan Diana, “Enak nak.”

Diana mengejang kembali saat jemari anaknya mengelus memek sambil tetap berciuman. Diana lantas membuka mata melihat Dewi sedang memainkan kontol suaminya, “Woy, sabar dong tunggu giliran.”

“Gak usah didengar, terus sayang hhh,” rintih Jefri. Dewi memajukan kepala untuk mencium suaminya.

Diana merebahkan kepala di bahu anaknya sambil menonton temannya. Kini Diana memeluk erat anaknya sambil gemetaran dan menggigit bahu anaknya saat Diana akhirnya keluar.

Perlahan Diana turun dari meja dan kembali mencium anaknya. Kini semua orang kembali duduk. Karena terkena guncangan oleh salah - satu tubuh, botol menggelinding. Sebelum jatuh, Diana menangkap botol.

“Rehat dulu, gw mau ke kamar mandi. Ntar gw ada ide buat ronde akhir.”

Semuanya kembali ke meja. Diana berdiri lalu menunjuk Jefri, “lu hutang muasin bini lu, tapi sebelumnya gw mau lanjutin apa yang tadi dipotong sama telepon.”

Diana lalu naik meja dan berbaring. Tangannya lalu meraih kontol anaknya dan menariknya hingga masuk ke mulutnya. Kontan saja Dana terkejut atas aksi mama. Tangan Dana memegang pinggir meja. Sementara matanya melihat kepala mama yang maju mundur. Tangan mama sepertinya memegang dan mengelus pantat Dana.

Dewi bangkit, mendekati Diana lalu membungkuk untuk melihat temannya sedang nyepong anaknya sendiri. Jefri bangkit dan berlutut di belakang istrinya. Tangan jefri lalu mulai mengelus pantat istrinya.

Dewi mengerang saat lidah suaminya mulai bergerilya. Erangan Dewi menyebabkan Diana berhenti, mencabut kontol anaknya lalu mencium Dewi. Kontol yang masih dalam pegangan Diana diarahkan ke mulut Dewi. Dewi menghirup kontol teman anaknya, lalu menoleh ke belakang, “masukin ke anus yang.” Setelah itu, Dewi memasukan kontol teman anaknya ke mulutnya.

Jefri berdiri, melebarkan pantat istrinya lalu mulai menusuk kontol ke pantatnya. Dewi melepas kontol dari mulut, bangkit berdiri lalu mencium mulut teman anaknya sendiri. Sementara kontol Dana kembali bersarang di mulut mamanya.

Dana mengerang di sela ciumannya saat kontolnya menyemburkan peju di mulut mama. Dewi meracau tak jelas saat keluar. Jefri makin cepat memompa hingga menyemburkan peju di anus istrinya.

Mereka lalu berbaring di lantai. Diana kembali mencium Dana, Jefri mencium punggung Diana. Dana lalu melepas ciuman dan memandang ketiga orang itu, “Dana jadi penasaran, pelan - pelan saja sudah gini. Gimana kalau yang ekstrim?”

Ketiganya tertawa mendengar pertanyaan remaja itu.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)